Kasus terbaru mengenai penarikan buku tulisan Menkes Siti Fadilah Supari versi bahasa Inggris dengan dalih kesalahan penerjemahan jelas sekali membuktikan bahwa penerjemahan tidak hanya bisa menimbulkan konsekuensi akadmis tapi juga finansial dan politis.
Dalam sebuah wawancara mengenai penarikan buku tsb, si Menteri dengan tegas menuduh bahwa penerjemah telah melakukan kesalahan besar, dan karena itulah bukunya ditarik dari peredaran.
Dari pernyataan ini timbul pertanyaan,
1. Apakah memang benar terdapat kesalahan penerjemahan?
2. Sejauh mana kadar kesalahan penerjemahan tersebut?
3. Apakah klien (Menkes & stafnya) sudah memeriksa buku terjemahan tsb sebelum diterbitkan?
4. Apakah klien sudah menggunakan jasa penyunting (editor) untuk memeriksa hasil kerja penerjemah sebelum memutuskan versi akhir terjemahan tsb sebelum diterbitkan?
5. Apa konsekuensi dari tuduhan kesalahan penerjemahan tsb bagi penerjemah bersangkutan?
6. Apa konsekuensi dari tuduhan kesalahan penerjemahan tsb bagi profesi penerjemahan secara keseluruhan?
Pertanyaan 1 en 2 belum bisa dijawab karena kita belum mendapatkan buku versi bahasa Indonesia dan Inggrisnya. Karena itu, belum bisa disimpulkan apakah penerjemah ataukah Menkes yang salah.
Pertanyaan 3 en 4 sudah terjawab dari wawancara wartawan Detik dg Menkes. Di sana dikatakan bahwa Menkes tidak pernah membaca terjemahan tsb.
Pertanyaan 5 belum bisa dijawab karena belum jelas apakah akan ada langkah lebih lanjut yang bakal dilakukan pihak Menkes terhadap si penerjemah, kalau memang benar si penerjemah salah.
Namun demikian, seandainya penerjemah buku tsb melakukan penerjemahan dg baik dan benar, dia mungkin akan melakukan gugatan hukum terhadap Menkes karena telah melakukan pencemaran nama baik. Kalau ini berhasil, namanya akan langsung terkenal, dan dia juga mungkin bakal kebanjiran order.
Pertanyaan 6 berkaitan dengan citra profesi penerjemahan secara umum di mata masyarakat pengguna dan calon pengguna jasa penerjemahan. Konsekuensi positifnya, profesi penerjemahan akan semakin dikenal masyarakat sehubungan dengan fakta bahwa kasus ini cukup menghebohkan karena melibatkan orang penting dan berpengaruh di Indonesia (Menkes dan Presiden) serta tanggapan ramai dari luar negeri.
Konsekuensi negatifnya, kasus ini akan menimbulkan citra negatif profesi penerjemahan di mata masyarakat. Masyarakat bisa beranggapan bahwa: 1) penerjemah melakukan penerjemahan asal-asalan; 2) setiap orang bisa dengan mudah menjadi penerjemah; 3) tidak ada tanggung jawab dan profesionalisme dalam profesi penerjemahan; 4) penerjemah tidak layak dibayar dengan tarif yang memadai; 5) profesi penerjemah adalah profesi murahan; 6) tidak ada usaha pelatihan, pengembangan, dan pemantauan oleh himpunan penerjemah Indonesia; en 7) tidak ada himpunan penerjemah di Indonesia. :’-(
Bagaimana mencegah dan menghilangkan kemungkinan persepsi negatif ini?
Bertolak dari kasus ini, sekarang sudah saatnya kita baik yang sudah bergabung dalam Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) maupun belum untuk segera mencurahkan pikiran dan tenaga kita dalam membuat Rancangan Undang-undang Penerjemahan demi: 1) menjamin kebenaran informasi dan kelancaran komunikasi antara penulis teks sumber dan pembaca teks hasil terjemahan; 2)menjamin mutu hasil kerja para penerjemah; 3) melindungi para penerjemah dari berbagai konsekunesi negatif yang mungkin dihadapi; 4) menjaga dan meningkatkan citra positif dan profesionalisme dalam profesi penerjemahan; en 5) memperkuat posisi tawar penerjemah dalam menghadapi klien.
Untuk menyusun RUUP ini para anggota Himpunan Penerjemah Indonesia, Bahtera, en ProZ.com bisa bekerja sama mengumpulkan berbagai gagasan yang mungkin perlu dimasukkan dalam RUUP tsb. Sebagai lembaga resmi, HPI sebaiknya memainkan peran utama dalam usaha ini.
Setelah terkumpul berbagai gagasan baik dari para penerjemah, biro penerjemah, pakar hukum, lembaga swasta/pemerintah pengguna jasa penerjemahan, dan himpunan penerjemah luar negeri, Himpunan Penerjemah Indonesia dapat meminta bantuan pakar hukum untuk menyusun gagasan-gagasan tsb ke dalam sebuah RUUP.
Pada bagian pembukaan RUUP itu nanti diuraikan latar belakang yang lengkap, terperinci, dan meyakinkan mengenai perlunya pengesahan RUUP tsb ditinjau dari aspek akademis, ekonomis, politis, sosial, dan budaya.
Setelah itu, RUUP ini dibahas dulu di kalangan penerjemah dengan melibatkan para praktisi hukum dan pakar hukum. Kalau semuanya dirasa sudah memadai, RUUP tsb diajukan ke Depdiknas dan kemudian ke DPR untuk pengundangannya. Dus, dalam hal ini kita sebagai bagian dari masyarakat melakukan langkah proaktif dalam pembuatan undang-undang.
Seandainya RUUP ini bisa diwujudkan dan kemudian disahkan menjadi UUP, kita para penerjemah tidak akan ragu lagi dalam menjalankan profesi penerjemahan.
Bagaimana rekan penerjemah? Apakah Anda punya ide yang dapat disumbangkan? Saya sendiri sudah punya beberapa ide yang mungkin bermanfaat bagi kita semua.
Mari kita berlomba menyumbangkan pikiran kita demi terwujudnya UUP.
Copyright © ProZ.com and the author, 1999-2011. All rights reserved.